Sunday, October 26, 2008

Pengantar Pengolahan Citra

Pengantar Pengolahan Citra



Bab 1
Pendahuluan
Dengan digunakannya sistem satelit dalam teknik penginderaan jarak jauh
maka dapat dikumpulkan data permukaan bumi dalam jumlah yang san-
gat besar, karena luas permukaan bumi yang sangat luas. Data citra yang
sudah diperoleh tersebut kemudian dianalisis untuk kepentingan tertentu,
misalkan diagnosa penyakit, pemetaan dsb. Teknik analisis yang konven-
sional, yaitu mengamati bentuk citra analgog, membutuhkan waktu yang
lama dan ketepatan yang kurang signifikan. Tetapi setelah ditemukannya
citra digital, maka sudah dapat menggunakan alat bantu komputer yang da-
pat menganalisa citra tersebut dengan waktu yang lebih cepat dan ketepatan
yang signifikan.
Sejarah perkembangan sistem pengolahan citra secara digital tidak hanya
didukung oleh keb utuhan dalam aplikasi penginderaan jauh, tetapi juga
dalam beberapa aplikasi lainnya seperti biomedik, astronomi, dan arkeologi
yang umumnya membutuhkan suatu metode peningkatan kualitas citra.
1.1 Pengertian Citra
Suatu citra adalah fungsi intensitas 2 dimensi f (x, y), dimana x dan y adalah
koordinat spasial dan f pada titik (x, y) merupakan tingkat kecerahan (bright-
ness) suatu citra pada suatu titik. Suatu citra diperoleh dari penangkapan
kekuatan sinar yang dipantulkan oleh objek. Gambar 1.1 adalah gambar
penangkapan / penerimaan citra oleh mata manusia.
Citra sebagai output alat perekaman, seperti kamera, dapat bersifat analag
ataupun digital.
1
BAB 1. PENDAHULUAN
Citra Analog adalah citra yang masih dalam bentuk sinyal analog, seper-
ti hasil pengambilan gambar oleh kamera atau citra tampilan di layar TV
ataupun monitor (sinyal video).
Menurut presisi yang digunakan untuk menyatakan titik-titik koordinat
pada domain spasial (bidang) dan untuk menyatakan nilai keabuan (warna
suatu citra), maka secara teoritis cotra dapat dikelompokkan menjadi empat
kelas citra, yaitu: kontinu-kontinu, kontinu-diskrit, diskrit-kontinu, diskrit-
diskrit. Parameter(label) pertama menyatakan presisi titik koordinat pada
bidang, sedangkan label kedua menyatakan presisi nilai keabuan/warna. La-
bel kontinu berarti nilai yang digunakan adalah tak terbatas dan tak tehing-
ga, sedangkan diskrit menyatakan terbatas dan berhingga. Suatu citra dijital
merupakan representasi 2-D array sample diskrit suatu citra kontinu f(x,y).
Amplitudo setiap sample di kuantisasi untuk menyatakan bilangan hingga
bit. Setiap elemen array 2-D sample disebut suatu pixel atau pel (dari is-
tilah ”picture element”) Pengolahan citra dijital adalah proses pengolahan
citra dijital dengan alat bantu komputer.
Tingkat ketajaman/resolusi warna pada citra digital tergantung pada
jumlah ”bit” yang digunakan oleh komputer untuk merepresentasikan setiap
pixel tersebut. Tipe yang sering digunakan untuk merepresentasikan citra
ada;ah ”8-bit citra” (256 colors (0 untuk hitam - 255 untuk putih)), tetapi
dengan kemajuan teknologi perangkat keras grafik, kemampuan tampilan
citra di komputer hingga 32 bit (232 warna).
Ranah nilai intensitas dalam suatu citra juga ditentukan oleh alat digitasi
yang digunakan untuk menangkap dan konversi citra analog ke citra digital
(A/D).
Perolehan citra digital ini dapat dilakukan secara langsung oleh kam-
era digital ataupun melakukan proses konversi suatu citra analog ke citra
digital. Untuk mengubah citra kontinu menjadi digital diperlukan proses
pembuatan kisi-kisi arah horizontal dan vertikal, sehingga diperoleh gam-
bar dalam bentuk array dua dimensi. Proses tersebut dikenal sebagai proses
digitalisasi/sampling.
Citra monochrome atau citra hitam-putih merupakan citra satu kanal, di
mana citra f (x, y) merupakan fungsi tingkat keabuan dari hitam ke putih; x
menyatakan variabel baris (garis jelajah) dan y menyatakan variabel kolom
atau posisi di garis jelajah. Sebaliknya citra bewarna dikenal juga dengan
citra multi-spectral, di mana warna citra biasanya
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 2
1.2. PERSPECTIVE PROJECTION
1.2 Perspective Projection
Perspective projection adalah proses transformasi dari koordinat 3Dworld ke
2D image, yang dilakukan berdasarkan:
• Continuous Perspective Projection
• optics
Gambar 1.1: Intensitas
Pada Gambar 1.2 proyeksi suatu koordinat 3 dimensi(X, Y, Z) ke koordi-
nat 2 Dimensi (x, y) pada model perspective kontinu.
Gambar 1.2: Proyeksi
Weak perspective (scaled orthographic projection)
Merupaka efek perspektif, tetapi tidak berdasarkan skala objek secara
individu, yaitu mengumpulkan titik-titik ke suatu kelompok pada sekitar
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 3
BAB 1. PENDAHULUAN
kedalaman yang sama dan kemudian membagi setiap titik dengan kedalaman
kelompok titik-titik itu. Gambar 1.3 menunjukkan bentuk proyeksi weak
perspective.
Bentuk persamaan untuk weak perspective adalah:
(x, y, z) −→ s(x, y)
Dimana s bernilai konstan untuk semua titik, garis parallel tidak konver-
gen tetapi terus parallel.
Gambar 1.3: Weak Perspective
1.3 Sistem Visual Manusia
Kita perlu memperhatikan konsep system visual manusia dalam pengolahan
citra, sebab proses tersebut sangat identik dengan proses pengolahan citra.
Ketika manusia menangkap citra di mata, maka prinsip tersebut juga diter-
apkan oleh pengolahan citra untuk mengambil citra dari suatu alat sensor
citra. Dari informasi citra yang ditangkap oleh mata, kemudian diproses
untuk mengidentifikasikan citra tersebut.
Beberapa pertanyaan sederhana yang muncul berkaitan dengan system
vision manusia:
• Intensitas cahaya apa yang dapat kita bedakan?
• Apa resolusi spasial mata manusia ?
• Berapa akurat estimasi kita ketika membandingkan jarak dan luas
area?
• Bagaimana sense manusia terhadap warna?
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 4
1.3. SISTEM VISUAL MANUSIA
Gambar 1.4: Sistem Visual Manusia
Pembentukan Citra oleh Sensor Mata
Gambar 1.4 menunjukkan system penangkapan citra pada mata manu-
sia. Intensitas cahaya ditangkap oleh diagram iris dan diteruskan ke bagian
retina mata. Kemudian bayangan obyek pada retina mata dibentuk dengan
mengikuti konsep sistem optik dimana fokus lensa terletak antara retina dan
lensa mata. Mata dan syaraf otak dapat menginterpretasi bayangan yang
merupakan obyek pada posisi terbalik.
Pada system mata manusia terdapat bagian: Fovea di bagian retina ter-
diri dari dua jenis receptor:Sejumlah (6-7 juta) cone receptor, sensitif ter-
hadap warna, vision cone disebut photocopic vision atau bright light vi-
sion Sejumlah rod receptor (75-150 juta) terletak pada permukaan retina,
memberikan gambar keseluruhan pandangan dan sensitif terhadap iluminasi
tingkat rendah, vision rod disebut scotopic vision atau dim-light vision.
Blind Spot adalah bagian retina yang tidak mengandung receptor sehing-
ga tidak dapat menerima dan menginterpretasi informasi Adaptasi terhadap
kecerahan dan diskriminasi
Ranah total tingkat intensitas yang dapat mendiskriminasikan secara si-
multan adalah lebih kecil dibandingkan ranah total adaptasi. Pada gam-
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 5
BAB 1. PENDAHULUAN
Gambar 1.5: Ranah adapatasi warna pada sistem visual manusia
bar 1.5, Ba adalah tingkat adaptasi kecerahan, Kurva Irisan yang pendek
menyatakan ranah subjektif kecerahan yang dapat diterima oleh mata ketika
mengadaptasikan tingkat kecerahan tersebut.
Gambar 1.6: Weber Ratio
Kemampuan mata untuk diskriminasi hitam/putih kecerahan pada level
adaptasi tertentu. Pada gambar 1.6, I adalah nilai Iluminasi uniform pada
area datar dengan luasan yang cukup untuk keseluruhan field of view. Ic
adalah perubahan kecerahan objek yang diperlukan untuk membedakan ob-
jek dari warna latar belakanya. Diskriminasi yang buruk apabila Weber Ratio
( Ic/I) bernilai besar untuk tingkat iluminasi rendah dan akan meningkat
signifikan (ketika ratio rendah) yaitu iluminasi background meningkat. San-
gat sulit untuk membedakan iluminasi apabila background terang sebaliknya
akan sangat mudah pada background yang lebih gelap.
Brightness (kecerahan) bukan merupakan suatu model fungsi intensitas
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 6
1.3. SISTEM VISUAL MANUSIA
Gambar 1.7: Garis seperti lipatan pada daerah batas tingkat intensitas
yang sederhana, karena system visual sangat dipengaruhi oleh daerah batas
intensitas yang berbeda. Intensitas dari masing-masing daerah pada gambar
1.7 adalah konstan tetapi pada kenyataan penglihatannya pattern brightness
sangat kuat sehingga membentuk seperti garis lipatan di dekat batas masing-
masing daerah tersebut.
Pada tahun 1865, Ernst Mach menemukan fenomena mach band pattern
. Pada gambar 1.8 di atas, brightness pattern yang diterima berupa suatu
stripe yang lebih gelap di daerah D dan lebih terang di daerah B padahal
kenyataanya daerah D dan B memiliki intensitas yang sama.
Contrast Simultan
Gambar 1.9. menyatakan suatu model contrast simultan, dimana kemu-
nculan kotak kecil ditengah berkesan memiliki intensitas yang semakin lebih
gelap apabila warna background menjadi lebih terang, padahal kenyataan-
nya intensitas kotak kecil tersebut sama. Hal ini menyatakan bahwa daerah
brightness yang diterima tidak bergantung sederhana pada intensitasnya.
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 7
BAB 1. PENDAHULUAN
Gambar 1.8: Mach Band Efek
Gambar 1.9: Tampilan kotak di tengan berkesan lebih gelap apabila back-
ground lebih terang
1.4 Pemanfaatan Pengolahan Citra
Manfaat pengolahan citra adalah menunjang kebutuhan kehidupan sehari-
sahari khususnya untuk :
• Memfasilitasi penyimpanan dan transmisi citra seperti menentukan
metode penyimpanan citra yang efisien dalam suatu kamera digital
sehingga mempercepat proses pengirim citra dari jarak jauh misalkan
dari planet Mars ke Bumi.
• Menyiapkan untuk ditampilkan di monitor atau di cetak. Proses yang
dilakukan adalah melakukan merubah ukuran citra yang dharus dis-
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 8
1.5. IMPLEMENTASI PENGOLAHAN CITRA
esuaikan dengan ukuran media tampilan serta proses halftoning untuk
proses pencetakan.
• Meningkatkan dan memperbaiki citra dengan menghilangkan goresan-
goresan pada ataupun meningkatkan visibilitas citra
• Ekstrasi informasi citra misalkan character recognizing, pengukuran
plusi air dari citra aerial
1.5 Implementasi Pengolahan Citra
Aplikasi pengolahan citra dijital sudah diimplementasikan secara luas, khusus-
nya di bidang keilmuan maupun industri seperti kedokteran, keamanan, per-
tanahan, geologi, biology, system kontrol fabrikasi, dll. Bentuk dari model
implementasi citra:
• Pengembangan Sistem Aplikasi Biomedik
• Pengembangan Sistem Optical Character Recognition (OCR)
• Pengembangan Sistem Aplikasi Inderaja
• Pengembangan Sistem Multitemporal Multisensor Image Classification
and Fusion
1.6 Proses Pengolahan Citra
Gambar 1.10 di atas adalah langkah dalam pengolahan citra secara umum
yang teridiri dari:
• Pembentukan Citra (Data Acquisition): Menentukan data yang diper-
lukan dan memilih metode perekaman citra dijital.
• Pengolahan Citra Tingkat Awal (Image Preprocessing): Meningkatkan
kontras, menghilangkan gangguan geometrik / radiometrik, menen-
tukan bagian citra yang akan diobservasi. Segmentasi Citra (Image
Segmentation) dan Deteksi Sisi (Edge Detection): Melakukan partisi
citra menjadi wilayah-wilayah obyek (internal properties) atau menen-
tukan garis batas wilayah obyek (external shape characteristics).
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 9
BAB 1. PENDAHULUAN
Gambar 1.10: Proses Pengolahan Citra dan Implementasinya
• Seleksi dan Ekstraksi Ciri (Feature Extraction and Selection): Selek-
si ciri memilih informasi kwantitatif dari ciri yang ada, yang dapat
membedakan kelas-kelas obyek secara baik. Ekstraksi ciri mengukur
besaran kwantitatif ciri setiap piksel
1.7 Representasi Citra
Bagaimana sebuah citra direpresentasikan dalam file? Pertama-tama seperti
halnya jika kita ingin melukis sebuah gambar, kita harus memiliki palet dan
kanvas Pallete:
• kumpulan warna yang dapat membentuk citra, sama halnya seperti
ketika hendak melukis dengan cat warna, kita memiliki palet yang bisa
kita isikan berbagai warna cat air
• Setiap warna yang berbeda dalam palet tersebut diberi nomor (berupa
angka)
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 10
1.8. QUIZ
• Contoh untuk citra monokrom (warnanya hanya putih-abuabu-hitam),
berarti kita memiliki palet seperti pada gambar 1.11
Gambar 1.11: pallete
1.8 QUIZ
1. Projection : Titik fokus suatu kamera ditetapkan pada koordinat (10,
0, 1). Suatu plane citra ditempatkan pada koordinat z = 2. Terdapat
dua titik pada koordinate world: p1 = (7, 3, 7), p2 = (8, 3, 13).
• Tentukan koordinat world titik dari proyeksi p1 dan p2 dengan
menggunakan perspective projection.
• Tentukan pula nilai proyeksi p1 and p2 apabila menggunakan weak
perspective.
2. Sebutkan efek kecerahan (brightness) iluminasi pada system visual manu-
sia.
3. Jelaskan efek visual manusia apa yang terjadi apabila manusia yang
sebelumnya berada ditempat terang kemudian tiba-tiba masuk ke ru-
angan yang gelap.
1.9 LATIHAN PROGRAM
• Buatlah suatu matlab script untuk membaca suatu input file citra serta
tampilkan informasi format citra tersebut.
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 11
BAB 1. PENDAHULUAN
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 12
Bab 2
Warna
2.1 Warna pada Pengolahan Citra
Sistem visual manusia dapat membedakan ratusan ribu shade warna dan in-
tersitas, tetapi hanya 100 shade keabun. Oleh sebab itu, dalam suatu citra,
masih banyak informasi lainnya yang ada pada warna, dan informais terse-
but juga dapat digunakan untuk menyederhanakan analisis citra, misalkan
identifikasi objek dan ekstraksi warna.
Tiga kuatisasi yang dapat digunakan untuk menggambarkan warna:
• hue ditentukan oleh dominan panjang gelombang. Warna yang dapat
dilihat oleh mata memiliki panjang gelombang antara 400 nm (violet) -
700 nm (red) pada spektrum electromagnetic seperti pada gambar 2.1
• (Saturation) ditentukan oleh tingkat kemurnian, dan tergantung pa-
da jumlah sinar putih yang tercampur dengan hue. Suatu warna hue
murni adalah secara penuh tersaturasi, yaitu tidak ada sinar putih yang
tercampur. Hue dan saturation digabungkan menentukan chromatici-
ty suatu warna. Intensitas ditentukan oleh jumlah sinar yang diserap.
Semakin banyak sinar yang diserap semakin banyak tinggi intensitas
warnanya.
• Sinar Achromatic tidak memiliki warna, tetapi hanya ditentukan oleh
atribut intensitas. Tingkat keabuan (Greylevel) adalah ukuran inten-
sitas yand ditentukan oleh energi, sehingga merupakan suatu kuanti-
tas fisik. Dalam hal lain, brightness atau luminance ditentukan oleh
persepsi warna (sehingga dapat merupakan efek psychology). Apabila
13
BAB 2. WARNA
Gambar 2.1: Visible Spectrum
diberikan sinar biru dan hijau dengan intensitas yang sama, sinar biru
diterima (perceived) lebih gelap dibandingkan sinar hijau. Sehingga
dapat dikatakan bahwa persepsi intensitas manusia adalah non-linear,
misalkan perubahan intensitas yang dinormalisasi dari 0.1 ke 0.11 dan
0.5 ke 0.55 akan diterima dengan perubahan tinkat kecerahan (bright-
ness) yang sama.
Warna secara utuh bergantung pada sifat pantulan (reflectance) suatu
objek. Warna yang dilihat merupakan yang dipantulkan, sedangkan yang
lainnya diserap. Sehingga sumber sinar perlu diperhitungkan begitu pula
sifat alami system visual manusia ketika menangkap suatu warna. Sebagai
contoh, suatu objek yang memantulkan sinar merah dan hijau akan tampak
berwarna hijau apabila benda tersebut disinari oleh sinar hijau (tanpa adanya
sinar merah). Demikian juga sebaliknya, objek akan tampak berwarna merah
apabila tidak terdapat sinar hijau. Apabila benda tersebut disinari oleh sinar
putih, maka objek tersebut berwarna kuning (merupakan gabungan warna
hijau + merah).
2.2 Teori Tristimulus Persepsi Warna
Seperti yang dijelaskan pada Bab 1, retina manusia memiliki 3 jenis cones.
Respon setiap jenis cone sebagai suatu fungsi panjang gelombang (gambar
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 14
2.2. TEORI TRISTIMULUS PERSEPSI WARNA
2.2). Pada Gambar 2.2, puncak setiap kurva warna adalah [ada 440 nm
(biru), 545 nm (hijau) dan 580 nm (merah).
Gambar 2.2: Spectral response curves for each cone type. The peaks for each
curve are at 440nm (blue), 545nm (green) and 580nm (red).
CIE primaries
Teori tritimulus persepsi warna dapat dilihat bahwa suatu warna dapat
diperoleh dari suatu campuran tiga warna utama: merah, hijau dan biru
(Red Green Blue). Meskipun hampir setiap warna yang tampak dapat di-
tentukan sesuai dengan tiga komponen diatas, tetapi masih terdapat beber-
apa warna yang tidak dapat diuraikan sebagai kombinasi dari ketiga warna
dasar tersebut. Bagaimanapun juga apabila salah satu dari ketiga komponen
warna dasar tersebut ditambahkan ke warna yang tidak dapat dicocokkan
tadi, maka warna yang tidak dapat dicocokkan tersebut dapat dicocokkan
dengan campuran dari dua warna dasar lain. Hal ini menunjukkan bahwa
warna dapat memiliki nilai bobot negatif dari ketiga komponen warna dasar
́
tersebut. Pada tahun 1931, Commission Internationale de l’Eclairage (CIE)
mendefinisikan tiga standar komponen warna utama : X, Y dan Z. yang
dapat ditambahkan untuk membentuk semua kemungkinan warna. Warna
utama Y dipilih sedemikian rupa sehingga fungsi kecocokan warnanya se-
cara tepat mencocokkan fungsi luminous efisiensi mata manusia berdasarkan
penjumlahan ketiga warna seperti pada gamabar 2.3.
Diagram Chromaticity (Gambar 2.3) menunjukkan semua visible colours.
Sumbu x dan y merupakan nilai normalisasi warna utama X dan Y untuk
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 15
BAB 2. WARNA
Gambar 2.3: Diagram CIE Chromaticity menunjukkan semua visible colours.
x dan y adalah jumlah normalisasi kemunculan X and Y primaries, z = 1 -
x - y menentukan jumlah Z primary yang dibutuhkan.
suatu warna, dan z = 1−x−y menyatakan jumlah Z utama yang diperlukan.
Chromaticity bergantung pada panjang gelombang dan saturation dominan,
dan tidak bergantung pada energi luminan. Warna dengan nilai chromaticity
yang sama tetapi dengan luminan berbeda akan terpetakan pada titik yang
sama di regian tersebut.
Warna spectrum utama murni berada pada bagian kurva batas daerah,
dan suatu sinar putih standar memiliki warna yang didefinisikan berada dekat
(tetapi tidak di) titik dengan persamaan energi x = y = z = 1/3. Warna
komplementer, yaitu warna yang ditambahkan ke warna putih, berada di
titik akhir suatu garis yang melewati titik tersebut. Sebagai ilustrasi pada
gambar 2.4, semua warna yang berada di dalam segitiga dapat dibentuk dari
campuran warna yang berada pada verteks (garis) segitiga. Dari ilustrasi
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 16
2.3. MODEL WARNA
grafik tersebut, semua warna visible tidak dapat diperoleh dari campuran
warna utama R, G dan B (atau dari tiga visible warna lainnya), karena
bentuk diagramnya bukan segitiga.
Gambar 2.4: Warna Campuran pada Diagram Chromaticity
2.3 Model Warna
Model warna merupakan cara standar untuk menspesifikasikan suatu warna
tertentu, dengan mendefinisikan suatu sistem koordinat 3D, dan suatu ruang
bagian yang mengandung semua warna yang dapat dibentuk ke dalam su-
atu model tertentu. Suatu warna yang dapat dispesifikasikan menggunakan
suatu model akan berhubungan ke suatu titik tunggal dalam sautu ruang
bagian yang didefinisikannya. Masing-masing warna diarahkan ke salah satu
standard hardware tertentu (RGB, CMY,YIQ), atau aplikasi pengolahan cit-
ra (HSI).
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 17
BAB 2. WARNA
2.3.1 Model RGB
Suatu citra dalam model RGB terdiri dari tiga bidang citra yang saling lep-
as, masing-masing terdiri dari warna utama: merah, hijau dan biru. (Stan-
dar panjang gelombang untuk tiga warna utama ditunjukkan pada gambar
2.2). Suatu warna dispesifikasikan sebagai campuran sejumlah komponen
warna utama. Gambar 2.5 menunjukkan bentuk geometri dari model warna
RGB untuk menspesifikasikan warna menggunakan sistem koordinat Carte-
sian. Spektrum greyscale (tingkat keabuan) yaitu warna yang dibentuk dari
gabungan tiga warna utama dengan jumlah yang sama, berada pada garis
yang menghubungkan titik hitam dan putih.
Gambar 2.5: Koordinat warna RGB
Warna dipresentasikan dalam suatu sinar tambahan untuk membentuk
warna baru, dan berhubungan untuk membentuk sinar campuran. Citra pa-
da gambar 2.6 sebelah kiri menunjukkan campuran dengan menambahkan
warna utama merah, hijau, dan biru untuk membentuk warna sekunder
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 18
2.3. MODEL WARNA
kuning (merah+hijau), cyan (biru+hijau), magenta (merah+biru) dan putih
(merah+hijau+biru). Model warna RGB banyak digunakan untuk monitor
komputer dan video kamera.
Gambar 2.6: Penambahan Campuran Warna Merah Hijau dan Biru
2.3.2 Model CMY
Model CMY (Cyan, Magenta dan Yellow) adalah suatu model substractive
yang berhubungan dengan penyerapan warna, sebagai contoh pigment war-
na cat (seperti pada Gambar 2.6 sebelah kanan). Suatu permukaan yang
dicat warna cyan kemudian diiluminasi sinar putih, maka tidak ada sinar
merah yang dipantulkan, dan similar untuk warna magenta dengan hijau,
dan kuning dengan biru. Relasi model CMY adalah sebagai berikut:
 
 
 
R
1
C
 M = 1 − G 
 
  
B
Y 1
2.3.3 Model HSI
The HSI model, showing the HSI solid on the left, and the HSI triangle on
the right, formed by taking a horizontal slice through the HSI solid at a
particular intensity. Hue is measured from red, and saturation is given by
distance from the axis. Colours on the surface of the solid are fully saturated,
i.e. pure colours, and the greyscale spectrum is on the axis of the solid. For
these colours, hue is undefined.
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 19
BAB 2. WARNA
Sebagaimana yang sudah dijelaskan, warna juga dapat dispesifikasikan
oleh tiga kuantisasi hue, saturation, intensity (disebut model HSI) eperti pa-
da gambar 2.7. Pada gambar sebelah kiri merupakan bentuk solid HSI dan
sebelah kanan adalah model segitiga HSI yang merupakan bidang datar dari
pemotongan model solid HSI secara horisontal pada tingkat intensitas ter-
tentu. Hue ditentukan dari warna merah, saturation ditentukan berdasarkan
jarak dari sumbu. Warna pada permukaan model solid dibentuk dari saturasi
penuh, yaitu warna murni, dan spektrum tingkat keabuan,
Gambar 2.7: Model warna HSI
Konversi nilai antar model RGB dan HSI adalah sebagai berikut:
(R+G+B)
I= 3
dimana kuantitas R, G, dan B adalah jumlah komponen warna merah,
hijau, biru dan dinormilisasi ke [0,1]. Intensitas adalah nilai rata-rata kom-
ponen merah, hijau dan biru. Nilai saturation ditentukan sebagai:
min(R,G,B) 3
=1−
S =1− min(R, G, B)
I (R+G+B)
2.4 Model YIQ
The YIQ (luminance-inphase-quadrature) model is a recoding of RGB for
colour television, and is a very important model for colour image processing.
The importance of luminance was discussed in 1.
The conversion from RGB to YIQ is given by:
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 20
2.5. APPLYING GREYSCALE TRANSFORMATIONS TO COLOUR
IMAGES
  
 
0.299 0.587 0.114 R
Y
 I  =  0.596 −0.275 −0.321   G 
  
 
0.212 −0.523 0.311 B
Q
The luminance (Y) component contains all the information required for
black and white television, and captures our perception of the relative bright-
ness of particular colours. That we perceive green as much lighter than red,
and red lighter than blue, is indicated by their respective weights of 0.587,
0.299 and 0.114 in the first row of the conversion matrix above. These weights
should be used when converting a colour image to greyscale if you want the
perception of brightness to remain the same. This is not the case for the in-
tensity component in an HSI image, as shown in figure 8. The Y component
is the same as the CIE primary Y (see bagian 3.2).
2.5 Applying Greyscale Transformations to
Colour Images
Given all these different representations of colour, and hence colour images,
the question arises as to what is the best way to apply the image processing
techniques we have covered so far to these images? One possibility is to
apply the transformations to each colour plane in an RGB image, but what
exactly does this mean? If we want to increase the contrast in a dark image
by histogram equalisation, can we just equalise each colour independently?
This will result in quite different colours in our transformed image. In general
it is better to apply the transformation to just the intensity component of
an HSI image, or the luminance component of a YIQ image, thus leaving the
chromaticity unaltered.
An example is shown in figure 2.9. When histogram equalisation is applied
to each colour plane of the RGB image, the final image is lighter, but also
quite differently coloured to the original. When histogram equalisation is
only applied to the luminance component of the image in YIQ format, the
result is more like a lighter version of the original image, as required.
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 21
BAB 2. WARNA
Gambar 2.8: Image (a) shows a colour test pattern, consisting of horizontal
stripes of black, blue, green, cyan, red, magenta and yellow, a colour ramp
with constant intensity, maximal saturation, and hue changing linearly from
red through green to blue, and a greyscale ramp from black to white. Image
(b) shows the intensity for image (a). Note how much detail is lost. Image
(c) shows the luminance. This third image accurately reflects the brightness
variations preceived in the original image.
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 22
2.5. APPLYING GREYSCALE TRANSFORMATIONS TO COLOUR
IMAGES
Gambar 2.9: The top image is a very dark image of a forest scene. The
middle image is the result of applying histogram equalisation to each of the
red, green and blue components of the original image. The bottom image is
the result of converting the image to YIQ format, and applying histogram
equalisation to the luminance component only.
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 23
BAB 2. WARNA
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 24
Bab 3
Perspektif dan Transformasi
Citra
3.1 Koordinat Kamera dan Koordinat World
Suatu citra diperoleh dari obyek suatu Sistem koordinat dapat dinyatakan
ke dalam dua bentuk
Gambar 3.1: Visible Spectrum
Bila kedua sistem sumbu (camera dan world) pada gambar 3.1 dihimpitkan,
maka obyek (pada ruang world) dan bayangan (pada bidang citra) akan
membentuk segitiga sama dan sebangun, sehingga bentuk transformasi dari
25
BAB 3. PERSPEKTIF DAN TRANSFORMASI CITRA
koordinat 3D world (X, Y, Z) ke koordinat kamera (x, y, z) adalah sbb:
X
x
=
λ Z−λ
dan
λX
x= λ−Z
λY
y= λ−Z
λZ
z= λ−Z
3.2 Transformasi Geometrik
Transformasi Geometrik adalah transformasi berdasarkan perpindahan ge-
ometrik suatu titik. Transformasi ini terdiri dari translasi, skala dan rotasi.
Gambar 3.2 adalah contoh dari masing-masing transformasi geometrik untuk
model 2 dimensi.
Gambar 3.2: Visible Spectrum
Diperlukan suatu representasi yang seragam (homogeneous representa-
tion) agar memungkinkan dilakukannya transformasi komposit secara efisien
dan dapat menyimpan faktor normalisasi koordinat akibat transformasi yang
dilakukan berturut-turut. Representasi hogeneous ini biasanya dalam bentuk
matriks.
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 26
3.2. TRANSFORMASI GEOMETRIK
Secara umum, transformasi geometrik ini dilakukan melalui proses perkalian
dengan matriks transformasi. Bentuk matriks transformasi tersebut adalah
sebagai berikut:
• Translasi sejauh (Tx , Ty , Tz )
1 0 0 Tx
 
0 1 0 Ty 

 
0 0 1 Tz 
 

0 0 01
• Rotasi dengan sumbu pusat sebesar a derajat.
1 0 00
 
0 cos(a) sin(a) 0
 
 
0 − sin(a) cos(a) 0
 
 
0 0 01
• Skala dengan faktor S
Sx 0 0 0
 
0 Sy 0 0
 
 
0 0 Sz 0
 
 
000 1
• Matrix transformasi perspektif
1 0 0 0
 
0 1 0 0
 
 
0 0 1 0


 
1
0 −λ 1
0
Tanda minus artinya gambar obyek terbalik, λ adalah jarak pusat lensa,
1
dan λ merupakan faktor skala. Koordinat obyek pada camera sys-
tem dapat diturunkan dari koordinat obyek pada world system dengan
menggunakan transformasi perspektif.
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 27
BAB 3. PERSPEKTIF DAN TRANSFORMASI CITRA
3.3 Sistem Koordinat Cartesian dan Homo-
geneous
Koordinat obyek pada world system dalam bentuk sistem koordinat Carte-
sian (Wc ) dan homogeneous coordinate system (Wh ). Bentuk ke dua sistem
tersebut adalah:
kX
 
 
X
kY
 
Wc =  Y  Wh = 
  

kZ

 
Z
k
k merupakan konstanta non-zero dan biasanya diamnbi nilai k = 1.
Sistem koordinat obyek pada camera adalah Cc dan Ch masing-masing
untuk sistem koordinat Cartesian dan homogeneous coordinate adalah seba-
gai berikut:
kX
kX
1 0 0 0

  

kY
kY
0 1 0 0 
  

=
Ch =  
  
kZ
kZ
0 0 1 0




  

1
− kZ
0 −λ 1 k
0 +k
λ
Koordinat Cartesian Cc (x, y, z) diperoleh dengan membagi koordinat Ch (xh, yh, zh)
dengan faktor koordinat ke empat, dalam hal ini yaitu − kZ +k sehingga ben-
λ
tuk sistem coordinat cartesian camera adalah:
kX



 

X(λ − Z)
x − kZ +k
λ 

kY
 =  Y (λ − Z) 
Cc =  y  =   
 
kZ
− λ +k


Z(λ − Z)


z kZ
− kZ +k
λ
Hubungan antara (x, y, z) dan (X, Y, Z) diatas disebut sebagai Camera
Basic Mathematical Model.
3.4 Transformasi Image ke World
Suatu titik obyek (X0 , Y0 , 0) terletak di bidang citra, dengan camera system
dan world system berhimpit dan bidang citra terletak pada Z = 0, maka
koordinat homogeneous dari obyek tersebut pada world system adalah:
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 28
3.5. DISTORSI GEOMETRIK
kX0
kX0
1 000
 
 

 kY 
  kY 
0 1 0 0 

0
0
=
Wh =  
0
0 
0 0 1 0 




1
k
k
0λ1
0
Titik (X0 , Y0 ) merupakan titik proyeksi seluruh titik-titik 3-D yang ter-
letak pada garis yang melalui (X0 , Y0 , 0) dan (0, 0, λ).
Persamaan garis yang melalui titik (X0 , Y0 , 0) dan (0, 0, λ ) adalah: (li-
hat penurunan dari rumus segitiga sebangun yang menghasilkan hubungan
antara camera dan world system)
X0
− Z)
X= (λ
λ
Y0
− Z)
Y= (λ
λ
Dengan demikian kita tidak dapat menentukan titik 3-D hanya dari proyek-
si titik tersebut pada bidang citra tanpa diketahuinya koordinat Z pada ruang
3-D tersebut.
Jika terdapat suatu titik pada citra (X0 , Y0 , z) dimana z adalah variabel
bebas yang menyatakan kedalaman atau jarak, maka:
kX0
kX0

  
kY0
kY0 
  
Ch =   Wh = 

  
kz
kz


  
kz
k +k
λ
Titik 3-D nya adalah:
λX0
X= (λ+z)
λY0
Y= (λ+z)
λZ
Z= (λ+z)
3.5 Distorsi Geometrik
Distorsi geometrik merupakan distorsi spatial, yaitu terjadi pergeseran posisi
spatial citra yang ditangkap. Distorsi geometrik ini disebabkan oleh kesala-
han yang terjadi seperti kerusakan sensor (internal), platform (external) dan
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 29
BAB 3. PERSPEKTIF DAN TRANSFORMASI CITRA
gerakan bumi. Koreksi yang dilakukan bila terjadi distorsi bersifat seder-
hana, seperti centering (translasi), size (skala), skew (rotasi). Gambar 3.3
menggambarkan matriks transformasi. Koreksi geometrik bila terdapat dis-
torsi yang bersifat kompleks adalah image registration/rectification, misal
dengan bilinear transformation dan least square method, seperti berikut:
Gambar 3.3: Visible Spectrum
X = aX + bY + cXY + d
(3.1)
Y = eX + f Y + gXY + h
Gambar 3.4 menunjukkan suatu contoh adanya geometri distorsi, dan
akan direstorasi menggunakan interpolasi berdasarkan titik kontrol daratan
(Ground Control Point (GCP))yang diambil langsung dengan mengunakan
teknologi seperti Global Position System (GPS). Titik-titik tersebut diaband-
ingkan dengan posisi titik tersebut di citra.
Persamaan yang digunakan untuk mendapatkan koreksi posisi secara perge-
seran geometrik adalah dengan menggunakan metode transformasi bilinier
dan least square seperti pada persamaan 3.1. Jumlah pasangan persamaan
diatas adalah sebanyak ground control points yang digunakan. Salah satu
citra dijadikan acuan (koordinat piksel (X, Y )), maka koordinat piksel cit-
ra yang diregistrasi (X, Y ) dapat dihitung dari persamaan diatas dengan
menyelesaikan koefisien a, b, c, dan d.
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 30
3.6. DISTORSI RADIOMETRIK
Gambar 3.4: Visible Spectrum
3.6 Distorsi Radiometrik
Distorsi Radiometrik muncul dalam bentuk distribusi intensitas yang tidak
tepat. Sumber distorsi ini adalah kamera (internal) dalam bentuk shading
effect, atmosfer (external) dalam bentuk besarnya intensitas yang tidak sama
walaupun untuk obyek yang kategorinya sama, akibat adanya kabut, posisi
matahari atau substansi atmosfir lainnya. Koreksi yang dilakukan untuk
jenis distorsi ini adalah dengan teknik filtering.
Gambar 3.5 adalah contoh adanya distorsi dalam bentuk skew (geometrik
external - rotasi ) dan adanya striping (radiometrik internal low pass fil-
ter). Sedangkan gambar 3.6 menunjukkan adanya distorsi radiometrik den-
gan frekuensi rendah. Restorasinya dilakukan dengan menggunakan high
pass filter. Gambar 3.4 menunjukkan adanya distorsi radiometrik dengan
frekuensi tinggi yang ditunjukkan dengan adanya semacam garis-garis (strip-
ping). Restorasi dapat dilakukan dengan menggunakan low pass filter untuk
menghilangkan stripping tersebut.
3.7 Impulse
Salah satu bentuk contoh dari sutu fungsi impulse adalah fungsi Delta Dirac
pada domain kontinue dan Fungsi Delta Kronecker pada domain diskrit d(x)
yang mempunyai nilai 1 pada suatu x dan mempunyai nilai 0 pada x lainnya.
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 31
BAB 3. PERSPEKTIF DAN TRANSFORMASI CITRA
Gambar 3.5: Distorsi Radiometrik dan Geometrik
Bentuk dari Fungsi Delta tersebut adalah seperti Gambar 3.7.
Menurut teori filtering, pada sistem yang ideal, sinyal yang masuk (im-
pulse) sama dengan sinyal yang keluar (impulse response). Hal tersebut da-
pat digambarkan dengan transfer function dalam bentuk fungsi Delta Dirac,
seperti pada gambar 3.8.
Pada sistem yang tidak ideal, sinyal yang masuk mengalami degradasi
atau penurunan kwalitas. Misalkan adanya low frekuensi seperti blurring
sebagai akibat adanya point spread function (PSF) yang ditunjukkan pada
gambar 3.9.
Adanya Impulse tersebut mengakibatkan perlunya memperbaiki citra agar
sesuai dengan yang diinginkan. Untuk mengetahui sebaran spectrum suatu
citra agar dapat mengetahui/memprediksi dampak impuls yang terjadi ma-
ka digunakan transformasi Fourier yang mengubah representasi citra dari
domain spasial ke domain frekwensi. Sebaliknya Inverse Fourier Transform
(IFT) akan mengubah representasi citra dari domain frekwensi ke domain
spasial (g(x, y) → F T → G(u, v) → IF T → g(x, y)). FT ini akan memu-
dahkan proses konvolusi dari bentuk integral menjadi bentuk perkalian biasa.
Pada sistem yang linier, Fourier transform dari suatu impulse meng-
hasilkan G(u,v) dan disebut sebagai system transfer function. Sebaliknya
g(x,y) sebagai inverse transform dari system transfer function disebut seba-
gai impulse response. Pada sistem optik, g(x,y) merupakan inverse transform
dari optical transfer function G(u,v), dan disebut point spread function.
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 32
3.7. IMPULSE
Gambar 3.6: Distorsi Radiometrik blurring
Gambar 3.7: Fungsi Delta
Optical transfer function dan point spread function masing-masing adalah
Fourier transform dari yang lainnya.
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 33
BAB 3. PERSPEKTIF DAN TRANSFORMASI CITRA
Gambar 3.8: Fungsi Konvolusi Impulse
Gambar 3.9: Point Spread Function
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 34
Bab 4
Transformasi Fourier
Mengapa perlu transformasi ?
Setiap orang pada suatu saat pernah menggunakan suatu teknik anali-
sis dengan transformasi untuk menyederhanakan penyelesaian suatu masalah
[Brigham,1974] misalkan penyelesaian fungsi y = x/z. Solusi penyelesaian
persamaan tersebut dapat dilakukan secara analisis konvensional yaitu den-
gan pembagian secara manual. Sedangkan secara analisis transformasi yaitu
melakukan transformasi:
log(y) = log(x) − log(z)
look-up table → pengurangan → look-up table.
Transformasi juga diperlukan ketika ingin mengetahui suatu informasi
tertentu yang tidak tersedia sebelumnya. Misalkan jika ingin mengetahui
informasi frekuensi kita memerlukan transformasi Fourier. Sedangkan ji-
ka ingin mengetahui informasi tentang kombinasi skala dan frekuensi kita
memerlukan transformasi wavelet.
4.1 Transformasi Citra
Transformasi citra, sesuai namanya, merupakan proses perubahan bentuk
citra untuk mendapatkan suatu informasi tertentu. Transformasi bisa dibagi
menjadi dua, yaitu Transformasi piksel/transformasi geometris dan trans-
formasi ruang/domain/space. Transformasi piksel masih bermain di ru-
ang/domain yang sama (domain spasial), hanya posisi piksel yang kadang
diubah, misalkan rotasi, translasi, scaling, invers, shear, dll. Transformasi
35
BAB 4. TRANSFORMASI FOURIER
jenis ini relatif mudah diimplementasikan dan banyak aplikasi yang dapat
melakukannya (Paint, ACDSee, dll). Transformasi ruang merupakan proses
perubahan citra dari suatu ruang/domain ke ruang/domain lainnya, sebagai
contoh dari ruang spasial ke ruang frekuensi. Seperti halnya istilah ruang
pada Aljabar Linier menjelaskan tentang Basis dan Ruang, misalkan Ruang
vektor. Salah satu basis yang merentang ruang vektor 2 dimensi adalah [10]
dan [01]. Artinya, semua vektor yang mungkin ada di ruang vektor 2 dimensi
selalu dapat direpresentasikan sebagai kombinasi linier dari basis tersebut.
Ada beberapa transformasi ruang yang akan dipelajari, yaitu :
• Transformasi Fourier (basis: cos-sin)
• Transformasi Hadamard/Walsh (basis: kolom dan baris yang ortogo-
nal)
• Transformasi DCT (basis: cos) Transformasi Wavelet (basis: scaling
function dan mother wavelet)
4.2 Transformasi Fourier
Pada tahun 1822, Joseph Fourier, ahli matematika dari Prancis menemukan
bahwa: setiap fungsi periodik (sinyal) dapat dibentuk dari penjumlahan
gelombang-gelombang sinus/cosinus. Contoh : Sinyal kotak (gambar 4.1)
dapat didekatkan dengan penjumlahan dari fungsi-fungsi sinus (gambar 4.2
dengan pendekatan fungsi f (x) = sin(x)+sin(3x)/3+sin(5x)/5+sin(7x)/7+
sin(9x)/9...)). Gambar pendekatan fungsi Fourier tersebut menggunakan se-
jumlah iterasi masing-masing 1, 3, 7, 99 yang dihasilkan dari algoritma mat-
lab 1
Algorithm 1 Program Matlab
function kotak(n)
t = 0:pi/200:8*pi;
kot = sin(t);
for i = 3 : 2: n
kot = kot + (sin(i*t))/i;
end
plot(kot)
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 36
4.2. TRANSFORMASI FOURIER
Gambar 4.1: Fungsi Kotak
Jika semua sinyal periodik dapat dinyatakan dalam penjumlahan fungsi-
fungsi sinus-cosinus, pertanyaan berikutnya yang muncul adalah: Jika ter-
dapat sebuah sinyal sembarang, bagaimana dapat diketahui bentuk fungsi-
fungsi cos sin apa yang membentuknya ? Atau dengan kata lain Berapakah
frekuensi yang dominan di sinyal tersebut ? Pertanyaan di atas dapat dijawab
dengan menghitung nilai F (u) dari sinyal tersebut. Dari nilai F (u) kemudian
dapat diperoleh kembali sinyal awal dengan menghitung f (x), menggunakan
Inverse Fourier.
4.2.1 Fourier 1 Dimensi
Bentuk persamaan Fourier 1 Dimensi terbagi menjadi dua, yaitu:
• Rumus FT kontinu 1 dimensi

F (u) = −∞ f (x)exp[−2jπux]dx

f (x) = −∞ F (u)exp[2jπux]du
Rumus Euler: exp[−2jπux] = cos 2πux − j cos 2πux
• Rumus Fourier Transform diskret 1 dimensi
F (u) = N x=N −1 f (x)exp[−2jπux/N ]
1
x=0
f (x) = N x=N −1 F (u)exp[2jπux/N ]
1
x=0
Misalkan kita memiliki sinyal x(t) dengan rumus sbb:
x(t) = cos(2π5t) + cos(2π10t) + cos(2π20t) + cos(2π50t)
Sinyal ini memiliki empat komponen frekuensi yaitu 5,10,20,50 (Gambar 4.3).
FT dari sinyal tersebut (Gambar 4.4). Terlihat bahwa FT dapat menangkap
frekuensi-frekuensi yang dominan dalam sinyal tersebut, yaitu 5,10, 20, 50.
(nilai maksimum F(u) berada pada angka 5,10, 20, 50).
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 37
BAB 4. TRANSFORMASI FOURIER
Gambar 4.2: Gambar Fungsi Fourier a) n = 1, b) n =3, c) n = 7, d) n = 99
Contoh Penghitungan FT 1 dimensi:
x=N −1
1
f (x)exp[−2jπux/N ]
F (u) = x=0
N
x=N −1
1
f (x)(cos(2πux/N ) − j sin(2πux/N ))
= x=0
N
contoh : f (0) = 2; f (1) = 3; f (2) = 4; f (3) = 4
F (0) = N x=0 −1 f (x)(cos(2π0x/N ) − j sin(2π0x/N ))
x=N
1
= 1 [f (0) + f (1) + f (2) + f (3)] = 3.25
4
F (1) = N x=0 −1 f (x)(cos(2πx/N ) − j sin(2πx/N ))
x=N
1
= 1 [2(1 − 0) + 3(0 − j) + 4(−1) + 4(j)] = −0.5 + 0.25j
4
F (2) = −0.25
F (3) = −0.5 − 0.25j
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 38
4.2. TRANSFORMASI FOURIER
Gambar 4.3: Fungsi Cos Sin
Gambar 4.4: Fourier Transform
Hasil penghitungan FT biasanya mengandung bilangan real dan imajiner,
sehingga Fourier Spectrum didapatkan dari magnitude kedua bilangan terse-
but shg | F (u) |= [R2(u) + I2(u)]1/2. Untuk contoh sebelumnya, Fourier
Spectrumnya adalah sebagai berikut:
| F (0) |= 3.25
| F (1) |= 1/2 = 0.5590
| F (2) |= 0.25
| F (3) |= [(0.5)2 + (0.25)2]1/2 = 0.5590
4.2.2 Rumus FT 2 Dimensi
Secara umum rumus Fourier 2 Dimensi adalah sebagai berikut:
• Fourier Transform
– Kontinu
∞ ∞
F (u, v) = f (x, y)exp[−2jπ(ux + vy)]dxdy
−∞ −∞
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 39
BAB 4. TRANSFORMASI FOURIER
– Diskrete
y=N −1
x=M −1
1
f (x, y)exp[−2jπ(ux/M +vy/N )]dxdy
F (u, v) = y=0
x=0
MN
• Inverse Fourier
– Kontinu
∞ ∞
f (x, y) = F (u, v)exp[2jπ(ux + vy)]dudv
−∞ −∞
– Diskrete
x=M −1 x=M −1
1
F (u, v)exp[2jπ(ux/M + vy/M )]
f (x, y) = x=0 x=0
MN
M = T inggiCitra(jumlahbaris)
N = LebarCitra(jumlahkolom)
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 40
Bab 5
Peningkatan Mutu Citra
Proses peningkatan mutu citra bertujuan untuk memperoleh citra yang dapat
memberikan informasi sesuai dengan tujuan/kepentingan pengolahan citra.
Proses peningkatan mutu citra ini termasuk memperbaiki citra yang ketika
proses akuisisi mengalami ganguan yang signifikan seperti noise, gangguan
geometris, radiometrik dan beberapa gangguan faktor alam lainnya.
Gambar 5.1: Proses Peningkatan Mutu Citra
Suatu metode pendekatan peningkatan mutu citra yang terbaik untk satu
implementasi belum tentu baik untuk implementasi lainnya, sebab karak-
teristik citra dapat saling berbeda. Gambar 5.1 menunjukkan proses pen-
ingkatan citra. Secara umum domain dalam pengingkatan mutu citra ini
41
BAB 5. PENINGKATAN MUTU CITRA
dapat dilakukan secara spatial dan frekuensi. Domain Spatial melakukan
manipulasi nilai pixel secara langsung dengan dipengaruhi oleh nilai pix-
el lainnya secara spatial sedangkan domain frekuensi berdasarkan frekuensi
spektrum citra. Terdapat beberapa teknik peningkatan mutu citra yang
merupakan kombinasi dari dua kategori ini.
Peningkatan mutu citra dapat dikaitkan dengan metode Filtering, dimana
citra tersebut di-filter untuk mendapatkan citra yang lebih baik. Jenis FIlter
dapat dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu linear dan non-linear filtering.
Linear filtering adalah mengubah nilai pixel berdasarkan kombinasi linear
nilai pixel disekelilingnya.
• Basic gray level transformations.
• Histogram Modification.
• Average and Median Filtering.
• Frequency domain operations.
• Homomorphic Filtering.
• Edge enhancement.
5.1 Domain Spatial
Merupakan teknik peningkatan mutu citra yang melakukan manipulasi lang-
sung pixel (x,y) suatu citra dengan menggunakan fungsi transformasi: g(x, y) =
T [f (x, y)], dimana f (x, y) sebagai citra input, g(x, y) hasil citra yang sudah
diproses dan T adalah operator pada f yang didefinisikan berdasarkan be-
berapa lingkungan di (x, y). Teknik ini ditunjukkan pada gambar 5.2
Masking/Filter suatu pixel (x,y) ditentukan berdasarkan pixel tetang-
ganya yang didefinisikan sebagai bentuk bujur sangkar (sering digunakan)
ataupun circular sebagai sub-citra yang berpusat di titik (x,y) dengan uku-
ran lebih dari 1x1(gambar 5.3 menggunakan masking 3x3). Pusat sub-citra
berpindah dari satu pixel ke pixel lainnya dimulai dari pojok atas. Nilai koe-
fisien masking ditentukan berdasarkan prosesnya. Teknik masking digunakan
untuk penajaman citra dan penghalusan citra.
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 42
5.1. DOMAIN SPATIAL
Gambar 5.2: Teknik Spatial merubah langsung pixel (x,y)
Gambar 5.3: Masking pixel (x,y)
5.1.1 Point Processing
Pada proses titik, ukuran masking tetangga adalah 1x1, dimana g bergantung
hanya pada nilai f di titik (x, y) (satu titik/pixel). T yang merupakan fungsi
transformasi memetakan f ke suatu nilai tingkat keabuan tertentu s, dimana
s = T (r). r adalah tingkat keabuan f (x, y) dan s = adalah tingkat keabuan
g(x, y).
5.1.2 Contrast Stretching dan Thresholding
Mengubah nilai kontras pixel dari pixel aslinya dengan ketentuan (gambar
5.4):
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 43
BAB 5. PENINGKATAN MUTU CITRA
• Menggelapkan pixel dengan nilai tingkat keabuan yang lebih rendah
dari m
• Meningkatkan kontrast apabila nilai tingkat keabuan pixel lebih dari
m
Gambar 5.4: Contrast Stretching
Thresholding adalah mentransformasikan citra menjadi citra biner, yaitu
citra dengan dua warna. Gambar 5.7 menunjukkan bahwa jika nilai tingkat
keabuan suatu pixel 0 ≤ r < m maka akan ditransformasi ke nilai 0, seba-
liknya untuk nilai pixel m ≤ r ≤ (L − 1) akan ditransformasikan ke nilai
L − 1.
Gambar 5.5: Threshold
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 44
5.1. DOMAIN SPATIAL
5.1.3 Tiga Fungsi Transformasi Dasar
Fungsi Linear
Fungsi linear adalah berbasiskan pada model s = mr + c, yaitu membentuk
korelasi garis lurus antara input dan output. Transformasi linear yang ser-
ing digunakan adalah fungsi identitas dan negatif. Input dan output citra
untuk transformasi fungsi identitas adalah sama, biasanya digunakan untuk
melengkapi atau kombinasi dengan teknik transformasi lain (s = r). Ke-
balikannya untuk transformasi negatif, nilai tingkat keabuan citra output
merupakan negatif dari nilai keabuan citra input (s = (l − 1) − r) (seperti
gambar 5.6)
Gambar 5.6: Fungis Identitas dan Negatif
Fungsi Log
Menggunakan fungsi transformasi s = c · log(1 + r), dimana c adalah kon-
stanta. Transformasi Log memetakan suatu citra dengan range warna sempit
menjadi lebih lebar pada citra outputnya. Digunakan untuk meningkatkan
nilai pixel yang gelap dalam suatu citra ketika proses kompresi nilai yang
lebih tinggi.
Transformasi log dapat memapatkan range citra yang dinamis dengan
nilai warna pixel yang sangat berfariasi. Contoh suatu citra dengan range
warna yang dinamis adalah spektrum warna hasil transformasi Fourier yang
dapat memiliki range intensitas dari 0 hingga 106 atau lebih tinggi lagi.
Kita tidak dapat melihat derajat ketelitian yang signifikan pada citra dengan
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 45
BAB 5. PENINGKATAN MUTU CITRA
(a) Citra Input (b) Citra Output
Gambar 5.7: Transformasi Fungsi Negatif
range image yang tinggi, sehingga perlu diturunkan sehingga dapat dilihat
(seperti pada gambar 5.8).
(a) Fourier Spectrum dengan(b) Output setelah transformasi
range 0 hingga 1.5 x 106 log dengan c = 1, range = 0 hing-
ga 6.2
Gambar 5.8: Transformasi Fungsi Logaritmic
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 46
5.1. DOMAIN SPATIAL
Perpangkatan
Memiliki fungsi transformasi dengan bentuk s = crγ , dimana cdanγ adalah
konstanta positif. Transformasi perpangkatan dengan nilai fractional γ memetakan
suatu range citra gelap yang sempit ke range yang lebih lebar, atau keba-
likannya untuk nilai input dengan tingkat kecerahan yang tinggi. Gambar
5.9 adalah bentuk fungsi perpangkatan dengan beberapa nilai gamma.
Gambar 5.9: Plot fungsi c · rγ
Sebagai contoh pada proses menampilkan citra di monitor CRT(Cathode
Ray Monitor) dengan ranah fungsi perpangkatan 1.5 hingga 2.5. Gambar
5.10(a) adalah citra asli, dan gambar 5.10(b) adalah citra setelah korekasi
dengan nilai γ = 2.5 yang mengakibatkan gambar menjadi lebih gelap. Gam-
bar 5.10(c) adalah koreksi gamma gambar 5.10(a) dengan nilai γ = 0.4 dan
gambar 5.10(d) adalah citra pada gambar 5.10(c) dikorekasi dengan fungsi
pangkat dengan nilai γ = 2.5.
Jika nilai γ dikurangi dalam jumlah besar, citra akan mengurangi kontras
citra.
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 47
BAB 5. PENINGKATAN MUTU CITRA
(a) Citra Asli (b) Citra di Monitor den-
gan perpangkatan γ = 2.5
(c) Citra Asli dikoreksi (d) Citra (c) dikoreksi
dengan γ = 0.4 dengan γ = 2.5
Gambar 5.10: Penampilan citra di monitor
5.1.4 Histogram
Dark image Bright image Components of histogram are concentrated on the
low side of the gray scale. Components of histogram are concentrated on the
high side of the gray scale.
Histogram suatu citra dijital dengan suatu tingkat keabuan [0, L − 1]
adalah suatu fungsi dikrit:
h(rk ) = nk (5.1)
dimana rk = tingkat keabuan ke-k
nk = jumlah total pixel dengan tingkat keabuan rk pada citra
h(rk ) = histogram citra dijital dengan ringkat keabuan rk
Gambar 5.11 menunjukkan bentuk histogram citra dijital. Citra gelap
(gambar a) dimana komponen citra terkonsentrasi pada sisi sebelah kiri dari
skala tingkat keabuan, sedangkan pada gambar (b) dengan tingkat kecerahan
yang tinggi memberikan bentuk histogram dengan konsentrasi di sebelah
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 48
5.1. DOMAIN SPATIAL
kanan skala. Gambar (c) adalah citra dengan kontras rendah membentuk
histogram sempit di tengah skala, sedangkan untuk citra dengan kontras
tinggi (gambar c) memberikan citra yang lebar sesuai garis vertikal yang
lebih tinggi dari yang lainnya.
5.1.5 Penggeseran dan Pelebaran Histogram
Proses perbaikan kontras suatu citra dapat dilakukan dengan teknik pengge-
seran histogram dan atau pelebaran histogram. Hal ini dilakukan dengan
memetakan nilai intensitas setiap pixel menjadi suatu nilai intensitas yhang
menurut rumus/nilai tertentu. Misalakan ketika akan meningkatkan tingkat
intensitas suatu gambar, maka dapat ditambahkan suatu faktor/nilai ter-
tentu sehingga warna akan bergeser ke arah yang lebih terang (ke kanan)
dan akan lebih gelap (ke kiri). Gambar 5.12 menjelaskan proses perubahan
citra melalui penggeseran histogram. Pada gambar (b), adalah pergeseran
histogram dengan menambahkan tingkat keabuan gambar (a) sebanyak 130
(kontras meningkat), sedangkan gambar (d) adalah pergeseran histogram
dengan mengurangi angka
Pelebaran Histogram dilakukan dengan mengalikan citra asli dengan su-
atu bilangan. Pada gambar 5.13 menunjukkan pelebaran histogram. Gambar
(c) adalah mengalikan tingkat keabuan citra (a) dengan 2 dan gambar (e)
mengalikan tingkat keabuan dengan 0.5. Pada gambar (d) terlihat bahwa
histogram menjadi lebih lebar dibandingkan gambar (b), sedangkan gambar
(f) menunjukkan histogram lebih sempit dibandingakn gambar (a).
5.1.6 Perataan Histogram (Histogram Equalization)
Teknik perataan histogram merupakan gabuang anatara penggeseran dan
pelebaran histogram. Tujuan yang akan dicapai pada teknik ini adalah untuk
mendapatkan citra dengan daerah tingkat keabuan yang penuh dan dengan
distribusi pixel pada setiap tingkat keabuan yang merata.
Pada teknik perataan histogram ini mentransformasi tingkat keabuan rk
menjadi sk dengan suatu fungsi transformasi T (rk ) (gambar 5.14). Fungsi
transformasi ini memiliki syarat sebagai berikut:
• T (r) memberikan nilai tunggal (one-one-onto) sehingga memiliki in-
verse serta monoton naik untuk interval 0 ≤ r ≤ 1.
• 0 ≤ T (r) ≤ 1 untuk 0 ≤ r ≤ 1.
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 49
BAB 5. PENINGKATAN MUTU CITRA
(a) Citra Gelap (b) Histogramnya
(c) Citra Terang (d) Histogramnya
(e) Citra Kontras (f) Histogramnya
Rencah
(g) Citra Kontras (h) Histogramnya
Tinggi
Gambar 5.11: Histogram
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 50
5.1. DOMAIN SPATIAL
(a) Citra Asli (b) Histogram Citra Asli
(c) Citra Asli ditambah tingkat keabuan (d) Histogramnya
130
(e) Citra Asli dikurangi tingkat keabuan (f) Histogramnya
100
Gambar 5.12: Penggeseran Histogram
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 51
BAB 5. PENINGKATAN MUTU CITRA
(a) Citra Asli (b) Histogram Citra Asli
(c) Citra Asli dikalikan 2 (d) Histogramnya
(e) Citra Asli dikalikan 0.5 (f) Histogramnya
Gambar 5.13: Pelebaran Histogram
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 52
5.1. DOMAIN SPATIAL
Gambar 5.14: Bentuk fungsi T (rk )
• Memiliki inverse T −1 (sk ) = rk untuk 0 ≤ s ≤ 1 (kembali ke nilai rk
semula)
Untuk menghitung fungsi T (rk ), perlu dilakukan normalisasi nilai his-
togram kedalam ranah [0.,1.], yang dinyatakan sebagai rk = nk /n, dimana
nk adalah jumlah total pixel dengan tinkat keabuan ke -k, dan n jumlah total
pixel. Kemudian dihitung nilai probabilitas pr = nk dimana 0 ≤ k ≤ L − 1 .
n
Sehingga fungsi transformasinya adalah:
= T (rk ) = k pr (rj )
sk j=0
= k nj dimana 0 ≤ k ≤ L − 1
j=0 n
Sebagai ilustrasi, diberikan suatu input citra dijital M(4x4) dengan tingkat
keabuan 0 hingga 9 sebagai berikut:
2 3 3 2
 
4 2 4 3
 
 
3 2 3 5
 
 
2 4 2 4
dengan bentuk histogram seperti gambar 5.15
maka:
(j) 0 1 2 3 4 56789
nj 0 0 6 5 4 10000
k−1
0 0 6 11 15 16 16 16 16 16
nj
j=0
k−1
s= nj /n 0 0 6/16 11/16 15/16 1 1 1 1 1
j=0
s·9 0 0 3 6 8 99999
Dari tabel di atas, maka bentuk citra dijital hasil perataan histogram
citra dijital M di atas adalah sebagain berikut:
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 53
BAB 5. PENINGKATAN MUTU CITRA
Gambar 5.15: Histogram Citra Dijital M
3 6 6 3
 
8 3 8 6
 
 
6 3 6 9
 
 
3 8 3 8
Bentuk histogram citra tersebut adalah seperti gambar 5.16:
Gambar 5.16: Histogram Setelah Proses Perataan dari Citra dijital M
5.1.7 Mean Filter
Mean filter digunakan untuk penghalusan (smoothing) citra yang memili-
ki gangguan (noise). Mean Filter adalah mengganti nilai pixel pada posisi
(x,y) dengan nilai rata-rata pixel yang berada tetangga disekitarnya. Lu-
asan jumlah pixel tetangga ditentukan sebagai masking/kernel/window yang
berukuran misalkan 2x2, 3x3, 4x4, dan seterusnya. Penggantian nilai pixel
tersebut adalah sebagai berikut:
a b
1
s(x, y) = p(x + i, y + j)
i=−a j=−b
MN
dimana a = (M − 1)/2 dan b = (N − 1)/2.
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 54
5.1. DOMAIN SPATIAL
Gambar 5.17 adalah contoh proses filter dengan menggunakan teknik
mean filter. Gambar (a) adalah citra yang diberi noise, gambar (b) adalah
mean filter citra (a) dengan ukuran kernel 3x3, sedangkan gambar (c) adalah
mean filter citra (a) dengan ukuran kernel 5x4.
(a) Citra Asli (b) Mean Filter 3x3 (c) Mean Filter 5x5
Gambar 5.17: Mean Filter
Berikut adalah contoh matriks kernel/masking yang berukuran 3x3 seba-
gai berikut:
 
111
1
· 1 1 1 
 
9
111
Sebagai contoh, diberikan suatu citra M (5x5) sebagai berikut:
 
4 5 8 5 8
7 3 5 6 9
 
 
 
2 2 9 4 8
 
 
6 5 5 6 9
 
 
5 3 8 9 8
Kemudian akan dilakukan mean filter untuk citra M dengan menggunakan
matriks kernel (3x3). Pixel m(2,2) = 3, akan diubah menjadi:
Selain mean filtering yang merupakan proses filter linier, terdapat pula
pendekatan filter pembobotan (weighted filter ). Salah satu bentuk matriks
kernel filter pembobotan adalah sebagai berikut:
 
121
1
· 2 4 2 

16 
121
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 55
BAB 5. PENINGKATAN MUTU CITRA
1/9 ∗ (m(1, 1) + m(1, 2) + m(1, 3) + m(2, 1) + m(2, 2) + m(2, 3)+
m(2, 2) =
m(3, 1) + m(3, 2) + m(3, 3))
= 1/9 ∗ (4 + 5 + 8 + 7 + 3 + 5 + 2 + 2 + 9)
= 1/9 ∗ (45)
=5
Bentuk umum perubahan nilai pixel (x,y) dengan weighted filter adalah:
a b
w(s,t)f (x+s,y+t)
s=−a t=−b
g(x, y) = a b
w(s,t)
s=−a t=−b
Perintah Matlab untuk menghasilkan matriks kernel mean filter adalah:
fspecial(’average’,3), sehingga untuk mendapatkan citra yang dihasilkan dari
mean filter adalah: filter2(fspecial(’average’,3),image).
5.1.8 Order-Statistics Filters (Nonlinear Filters)
Filter secara statistik merupakan suatu model filter non linear, karena tidak
menggunakan model kombinasi linier dari piksel tetangga. Respon berdasarkan
pada urutan (ranking) pixel pada area citra yang ditentukan oleh model filter.
Contoh filter non-linear adalah:
• Median Filter. R = median { zk |k = 1, 2, ..., nxn }
• Max Filter. R = max { zk |k = 1, 2, ..., nxn }
• Min Filter. R = min { zk |k = 1, 2, ..., nxn }
dimana nxn adalah ukuran matriks mask.
Median filter mengganti nilai suatu piksel dengan median nilai tingkat
keabuan dari piksel tetangga (nilai asli piksel digunakan juga pada saat
perhitungan nilai median tersebut). Media filter ini cukup popular kare-
na beberapa tipe gangguan acak (seperti salt noise, pepper noise. Teknik ini
mampu mengurangi gangguan yang lebih baik dibandingkan dengan model
linear smooting dengan ukuran yang sama.
Median filter mengubah suatu titik dengan tingkat keabuan yang berbe-
da menjadi lebih mirip dengan tetangganya. Selain itu juga median filter
mengganti nilai cluster piksel terisolasi, yang lebih terang atau gelap diband-
ingkan dengan piksel tetangganya serta luasannya kurang dari n2 /2, dengan
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 56
5.1. DOMAIN SPATIAL
nilai median dari masking nxn. Sehingga dapat dikatakan bahwa noise yang
dihilangkan akan memiliki nilai sama dengan intensitas median tetangganya.
Gambar 5.18 adalah contoh perbandingan hasil antara mean filter dan
median filter dengan menggunakan ukuran window yang sama (3x3).
Gambar 5.18: (a) Citra yang diberi noise, (b) Mean Filter 3x3 (c)Median
Filter 3x3
Sharpening Spatial Filter
Digunakan untuk mempertajam detail suatu citra atau meningkatkan de-
tail citra yang sudah di-blurkan karena kesalahan ataupun dmpak metode
akuisisi. Seperti yang sudah diketahui bahwa bluring dapat dilakukan dalam
domain spasial dengan menggunakan mean filter, dimana analogis dengan
operasi integrasi. Sehingga untuk proses penajaman ini dianalogiskan den-
gan operasi diferensiasi.
Kekuatan respon operator derivatif adalah proportional dengan derajat
diskontinu suatu citra pada suatu titik dimana operasi diterapkan. Sehingga,
citra diferensiasi adalah berkaitan dengan meningkatkan sisi dan diskontinu
lainnya (noise) serta penurunan area dengan nilai variasi tingkat keabuan
yang rendah.
Laplacian merupakan sharpening spatial filter dengan matriks kernel se-
bagai berikut:
 
121
1
· 2 4 2 

16 
121
Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 57

No comments: